NERS FRISKY

Rabu, 17 Juni 2009

Dengue haemorhagic fever (DHF)


. KONSEP DASAR
1. Pengertian

Dengue haemorhagic fever (DHF) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue sejenis virus yang tergolong arbovirus dan masuk kedalam tubuh penderita melalui gigitan nyamuk aedes aegypty (Christantie Efendy,1995 ).

Dengue haemorhagic fever (DHF) adalah penyakit yang terdapat pada anak dan orang dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot dan nyeri sendi yang disertai ruam atau tanpa ruam. DHF sejenis virus yang tergolong arbo virus dan masuk kedalam tubuh penderita melalui gigitan nyamuk aedes aegypty (betina) (Seoparman , 1990).

DHF adalah demam khusus yang dibawa oleh aedes aegypty dan beberapa nyamuk lain yang menyebabkan terjadinya demam. Biasanya dengan cepat menyebar secara efidemik. (Sir,Patrick manson,2001).

Dengue haemorhagic fever (DHF) adalah suatu penyakit akut yang disebabkan oleh virus yang ditularkan oleh nyamuk aedes aegypty (Seoparman, 1996).

Dari beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa dengue haemorhagic fever (DHF) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue sejenis virus yang tergolong arbovirus dan masuk kedalam tubuh penderita melalui gigitan nyamuk aedes aegypty yang terdapat pada anak dan orang dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot dan nyeri sendi yang disertai ruam atau tanpa ruam.
2. Etiologi

a. Virus dengue sejenis arbovirus.

b. Virus dengue tergolong dalam family Flavividae dan dikenal ada 4 serotif, Dengue 1 dan 2 ditemukan di Irian ketika berlangsungnya perang dunia ke II, sedangkan dengue 3 dan 4 ditemukan pada saat wabah di Filipina tahun 1953-1954. Virus dengue berbentuk batang, bersifat termoragil, sensitif terhadap in aktivitas oleh diatiter dan natrium diaksikolat, stabil pada suhu 70 oC.

Keempat serotif tersebut telah di temukan pula di Indonesia dengan serotif ke 3 merupakan serotif yang paling banyak.
3. Patofisiologi

Virus akan masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk aedes aegypty dan kemudian akan bereaksi dengan antibody dan terbentuklah kompleks virus-antibody. Dalam sirkulasi akan mengaktivasi system komplemen. Akibat aktivasi C3 dan C5 akan dilepas C3a dan C5a,dua peptida yang berdaya untuk melepaskan histamine dan merupakan mediator kuat sebagai factor meningkatnya permeabilitas dinding pembuluh darah dan menghilangkan plasma melalui endotel dinding itu.

Terjadinya trobositopenia, menurunnya fungsi trombosit dan menurunnya faktor koagulasi (protombin dan fibrinogen) merupakan factor penyebab terjadinya perdarahan hebat , terutama perdarahan saluran gastrointestinal pada DHF.

Yang menentukan beratnya penyakit adalah meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah , menurunnya volume plasma , terjadinya hipotensi , trombositopenia dan diathesis hemorrhagic , renjatan terjadi secara akut.

Nilai hematokrit meningkat bersamaan dengan hilangnya plasma melalui endotel dinding pembuluh darah. Dan dengan hilangnya plasma klien mengalami hipovolemik. Apabila tidak diatasi bisa terjadi anoxia jaringan, acidosis metabolic dan kematian.
4. Tanda dan gejala

a. Demam tinggi selama 5 – 7 hari

b. Mual, muntah, tidak ada nafsu makan, diare, konstipasi.

c. Perdarahan terutama perdarahan bawah kulit, ptechie, echymosis, hematoma.

d. Epistaksis, hematemisis, melena, hematuri.

e. Nyeri otot, tulang sendi, abdoment, dan ulu hati.

f. Sakit kepala.

g. Pembengkakan sekitar mata.

h. Pembesaran hati, limpa, dan kelenjar getah bening.

i. Tanda-tanda renjatan (sianosis, kulit lembab dan dingin, tekanan darah menurun, gelisah, capillary refill lebih dari dua detik, nadi cepat dan lemah).

5. Komplikasi

Adapun komplikasi dari penyakit demam berdarah diantaranya :

a. Perdarahan luas.

b. Shock atau renjatan.

c. Effuse pleura

d. Penurunan kesadaran.

6. Klasifikasi

a. Derajat I :

Demam disertai gejala klinis lain atau perdarahan spontan, uji turniket positi, trombositopeni dan hemokonsentrasi.

b. Derajat II :

Manifestasi klinik pada derajat I dengan manifestasi perdarahan spontan di bawah kulit seperti peteki, hematoma dan perdarahan dari lain tempat.

c. Derajat III :

Manifestasi klinik pada derajat II ditambah dengan ditemukan manifestasi kegagalan system sirkulasi berupa nadi yang cepat dan lemah, hipotensi dengan kulit yang lembab, dingin dan penderita gelisah.

d. Derajat IV :

Manifestasi klinik pada penderita derajat III ditambah dengan ditemukan manifestasi renjatan yang berat dengan ditandai tensi tak terukur dan nadi tak teraba.

7. Pemeriksaan penunjang

a. Darah

1) Trombosit menurun.

2) HB meningkat lebih 20 %

3) HT meningkat lebih 20 %

4) Leukosit menurun pada hari ke 2 dan ke 3

5) Protein darah rendah

6) Ureum PH bisa meningkat

7) NA dan CL rendah

b. Serology : HI (hemaglutination inhibition test).

1) Rontgen thorax : Efusi pleura.

2) Uji test tourniket (+)

8. Penatalaksanaan

a. Tirah baring

b. Pemberian makanan lunak .

c. Pemberian cairan melalui infus.

Pemberian cairan intra vena (biasanya ringer lactat, nacl) ringer lactate merupakan cairan intra vena yang paling sering digunakan , mengandung Na + 130 mEq/liter , K+ 4 mEq/liter, korekter basa 28 mEq/liter , Cl 109 mEq/liter dan Ca = 3 mEq/liter.

d. Pemberian obat-obatan : antibiotic, antipiretik,

e. Anti konvulsi jika terjadi kejang

f. Monitor tanda-tanda vital ( T,S,N,RR).

g. Monitor adanya tanda-tanda renjatan

h. Monitor tanda-tanda perdarahan lebih lanjut

i. Periksa HB,HT, dan Trombosit setiap hari.

9. Tumbuh kembang pada anak usia 6-12 tahun

Pertumbuhan merupakan proses bertambahnya ukuran berbagai organ fisik berkaitan dengan masalah perubahan dalam jumlah, besar, ukuran atau dimensi tingkat sel. Pertambahan berat badan 2 – 4 Kg / tahun dan pada anak wanita sudah mulai mengembangkan cirri sex sekundernya.

Perkembangan menitik beratkan pada aspek diferensiasi bentuk dan fungsi termasuk perubahan sosial dan emosi.
a. Motorik kasar

1) Loncat tali

2) Badminton

3) Memukul

4) Motorik kasar di bawah kendali kognitif dan berdasarkan secara bertahap meningkatkan irama dan kehalusan.

b. Motorik halus

1) Menunjukan keseimbangan dan koordinasi mata dan tangan

2) Dapat meningkatkan kemampuan menjahit, membuat model dan bermain alat musik.
c. Kognitif

1) Dapat berfokus pada lebih dan satu aspek dan situasi

2) Dapat mempertimbangkan sejumlah alternatif dalam pemecahan masalah

3) Dapat membelikan cara kerja dan melacak urutan kejadian kembali sejak awal

4) Dapat memahami konsep dahulu, sekarang dan yang akan datang
d. Bahasa

1) Mengerti kebanyakan kata-kata abstrak

2) Memakai semua bagian pembicaraan termasuk kata sifat, kata keterangan, kata penghubung dan kata depan

3) Menggunakan bahasa sebagai alat pertukaran verbal

4) Dapat memakai kalimat majemuk dan gabungan

. ASUHAN KEPERAWATAN SECARA TEORITIS

1. Pengkajian

Pengkajian merupakan tahap awal yang dilakukan perawat untuk mendapatkan data yang dibutuhkan sebelum melakukan asuhan keperawatan . pengkajian pada pasien dengan “DHF” dapat dilakukan dengan teknik wawancara, pengukuran, dan pemeriksaan fisik. Adapun tahapan-tahapannya meliputi :

a. Mengkaji data dasar, kebutuhan bio-psiko-sosial-spiritual pasien dari berbagai sumber (pasien, keluarga, rekam medik dan anggota tim kesehatan lainnya).

b. Mengidentifikasi sumber-sumber yang potensial dan tersedia untuk memenuhi kebutuhan pasien.

c. Kaji riwayat keperawatan.

d. Kaji adanya peningkatan suhu tubuh ,tanda-tanda perdarahan, mual, muntah, tidak nafsu makan, nyeri ulu hati, nyeri otot dan sendi, tanda-tanda syok (denyut nadi cepat dan lemah, hipotensi, kulit dingin dan lembab terutama pada ekstrimitas, sianosis, gelisah, penurunan kesadaran).

2. Diagnosa keperawatan .

Penyusunan diagnosa keperawatan dilakukan setelah data didapatkan, kemudian dikelompokkan dan difokuskan sesuai dengan masalah yang timbul sebagai contoh diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada kasus DHF diantaranya :

a. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan peningkatan permeabilitas kapiler, perdarahan, muntah dan demam.

b. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi virus dengue.

c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual, muntah, tidak ada nafsu makan.

d. Kurang pengetahuan keluarga tentang proses penyakit berhubungan dengan kurangnya informasi

e. Resiko terjadinya perdarahan berhubungan dengan trombositopenia.

f. Shock hipovolemik berhubungan dengan perdarahan

3. Intervensi

Perumusan rencana perawatan pada kasus DHF hendaknya mengacu pada masalah diagnosa keperawatan yang dibuat. Perlu diketahui bahwa tindakan yang bisa diberikan menurut tindakan yang bersifat mandiri dan kolaborasi. Untuk itu penulis akan memaparkan prinsip rencana tindakan keperawatan yang sesuai dengan diagnosa keperawatan :

a. Gangguan volume cairan tubuh kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan permeabilitas kapiler, perdarahan , muntah dan demam.

Tujuan :

Gangguan volume cairan tubuh dapat teratasi

Kriteria hasil :

Volume cairan tubuh kembali normal

Intervensi :

1) Kaji KU dan kondisi pasien

2) Observasi tanda-tanda vital ( S,N,RR )

3) Observasi tanda-tanda dehidrasi

4) Observasi tetesan infus dan lokasi penusukan jarum infus

5) Balance cairan (input dan out put cairan)

6) Beri pasien dan anjurkan keluarga pasien untuk memberi minum banyak

7) Anjurkan keluarga pasien untuk mengganti pakaian pasien yang basah oleh keringat.

b. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi virus dengue.

Tujuan

Hipertermi dapat teratasi

Kriteria hasil

Suhu tubuh kembali normal

Intervensi

1) Observasi tanda-tanda vital terutama suhu tubuh

2) Berikan kompres dingin (air biasa) pada daerah dahi dan ketiak

3) Ganti pakaian yang telah basah oleh keringat

4) Anjurkan keluarga untuk memakaikan pakaian yang dapat menyerap keringat seperti terbuat dari katun.

5) Anjurkan keluarga untuk memberikan minum banyak kurang lebih 1500 – 2000 cc per hari

6) kolaborasi dengan dokter dalam pemberian Therapi, obat penurun panas.

c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual, muntah, tidak ada nafsu makan.

Tujuan

Gangguan pemenuhan nutrisi teratasi

Kriteria hasil

Intake nutrisi klien meningkat

Intervensi

1) Kaji intake nutrisi klien dan perubahan yang terjadi

2) Timbang berat badan klien tiap hari

3) Berikan klien makan dalam keadaan hangat dan dengan porsi sedikit tapi sering

4) Beri minum air hangat bila klien mengeluh mual

5) Lakukan pemeriksaan fisik Abdomen (auskultasi, perkusi, dan palpasi).

6) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian Therapi anti emetik.

7) Kolaborasi dengan tim gizi dalam penentuan diet.

d. Kurang pengetahuan keluarga tentang proses penyakit berhubungan dengan kurangnya informasi

Tujuan

Pengetahuan keluarga tentang proses penyakit meningkat

Kriteria hasil

Klien mengerti tentang proses penyakit DHF

1) Kaji tingkat pendidikan klien.

2) Kaji tingkat pengetahuan keluarga tentang proses penyakit DHF

3) Jelaskan pada keluarga klien tentang proses penyakit DHF melalui Penkes.

4) beri kesempatan pada keluarga untuk bertanya yang belum dimengerti atau diketahuinya.

5) Libatkan keluarga dalam setiap tindakan yang dilakukan pada klien

e. Resiko terjadinya perdarahan berhubungan dengan trobositopenia.

Tujuan

Perdarahan tidak terjadi

Kriteria hasil

Trombosit dalam batas normal

Intervensi

1) Kaji adanya perdarahan

2) Observasi tanda-tanda vital (S.N.RR)

3) Antisipasi terjadinya perlukaan / perdarahan.

4) Anjurkan keluarga klien untuk lebih banyak mengistirahatkan klien

5) Monitor hasil darah, Trombosit

6) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therapi ,pemberian cairan intra vena.

f. Shock hipovolemik berhubungan dengan perdarahan

Tujuan

Shock hipovolemik dapat teratasi

Kriteria hasil

Volume cairan tubuh kembali normal, kesadaran compos mentis.

Intervensi

1) Observasi tingkat kesadaran klien

2) Observasi tanda-tanda vital (S, N, RR).

3) Observasi out put dan input cairan (balance cairan)

4) Kaji adanya tanda-tanda dehidrasi

5) kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therapi cairan.

4. Evaluasi.

Evaluasi adalah merupakan salah satu alat untuk mengukur suatu perlakuan atau tindakan keperawatan terhadap pasien. Dimana evaluasi ini meliputi evaluasi formatif / evaluasi proses yang dilihat dari setiap selesai melakukan implementasi yang dibuat setiap hari sedangkan evaluasi sumatif / evaluasi hasil dibuat sesuai dengan tujuan yang dibuat mengacu pada kriteria hasil yang diharapkan.

Evaluasi :

a. Suhu tubuh dalam batas normal.

b. Intake dan out put kembali normal / seimbang.

c. Pemenuhan nutrisi yang adekuat.

d. Perdarahan tidak terjadi / teratasi.

e. Pengetahuan keluarga bertambah.

f. Shock hopovolemik teratasi

ASKEP MORBILI

TINJAUAN TEORI

Definisi

Morbili adalah penyakit virus akut, menular yang ditandai dengan 3 stadium, yaitu stadium prodormal ( kataral ), stadium erupsi dan stadium konvalisensi, yang dimanifestasikan dengan demam, konjungtivitis dan bercak koplik ( Ilmu Kesehatann Anak Edisi 2, th 1991. FKUI ).

Morbili adalah penyakit anak menular yang lazim biasanya ditandai dengan gejala-gejala utama ringan, ruam serupa dengan campak ringan atau demam, scarlet, pembesaran serta nyeri limpa nadi ( Ilmu Kesehatan Anak vol 2, Nelson, EGC, 2000)

Etiologi :

Penyebabnya adalah virus morbili yang terdapat dalam sekret nasofaring dan darah sealma masa prodormal sampai 24 jam setelah timbul bercak-bercak. Virus ini berupa virus RNA yang termasuk famili Paramiksoviridae, genus Morbilivirus.

Cara penularan dengan droplet infeksi.

Epidemiologi :

Biasanya penyakit ini timbul pada masa anak dan kemudian menyebabkan kekebalan seumur hidup. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang pernah menderita morbili akan mendapat kekebalan secara pasif (melalui plasenta) sampai umur 4-6 bulan dan setelah umur tersebut kekebalan akan mengurang sehingga si bayi dapat menderita morbili. Bila seseorang wanita menderita morbili ketika ia hamil 1 atau 2 bulan, maka 50% kemungkinan akan mengalami abortus, bila ia menderita morbili pada trimester I, II, atau III maka ia akan mungkin melahirkan seorang anak dengan kelainan bawaan atau seorang anak dengan BBLR, atau lahir mati atau anak yang kemudian meninggal sebelum usia 1 tahun.

Patofisiologi :

Droplet Infection (virus masuk)

Berkembang biak dalam RES

Keluar dari RES keluar sirkulasi

Pirogen :

- pengaruhi termostat dalam hipotalamus

Titik setel termostat meningkat

Suhu tubuh meningkat

- pengaruhi nervus vagus ® pusat

muntah di medula oblongata.

- muntah

- anorexia

- malaise



Mengendap pada organ-organ yang

secara embriologis berasal dari ektoderm seperti pada :

- Mukosa mulut

infiltrasi sel-sel radang mononuklear pada kelenjar sub mukosa mulut

Koplik`s spot

- Kulit

Ploriferasi sel-sel endotel kalpiler di dalam korium

Terjadi eksudasi serum dan kadang-kadang eritrsit dalam epidermis

Rash/ ruam kulit

Konjunctiva

terjadi reaksi peradangan umum

Konjuctivitis

Fotofobia

- mukosa nasofaring dan broncus

infiltrasi sel-sel sub epitel dan sel raksasa berinti banyak

Reaksi peradangan secara umum

Pembentukan eksudat serosa disertai proliferasi sel monokuler dan sejumlah kecil pori morfonuklear

Coriza/ pilek, cough/ batuk

Sal. Cerna

Hiperplasi jaringan limfoid terutama pada usus buntu ® mukosa usus teriritasi ® kecepatan sekresi bertambah ® pergerakan usus meningkat ® diare

Manifestasi klinis

Masa tunas/inkubasi penyakit berlangsung kurang lebih dari 10-20 hari dan kemidian timbul gejala-gejala yang dibagi dalam 3 stadium

1. Stadium kataral (prodormal)

Stadium prodormal berlangsung selama 4-5 hari ditandai oleh demam ringa hingga sedang, batuk kering ringan, coryza, fotofobia dan konjungtivitis. Menjelang akhir stadium kataral dan 24 jam sebelum timbul enantema, timbul bercak koplik yang patognomonik bagi morbili, tetapi sangat jarang dijumpai. Bercak koplik berwarna putih kelabu, sebesar ujung jarum dan dikelilingi oleh eritema. Lokalisasinya dimukosa bukalis berhadapandengan molar dibawah, tetapi dapat menyebar tidak teratur mengenai seluruh permukaan pipi. Meski jarang, mereka dapat pula ditemukan pada bagian tengah bibir bawah, langit-langit dan karankula lakrimalis. Bercak tersebut muncul dan menghilang dengan cepat dalam waktu 12-18 jam. Kadang-kadang stadium prodormal bersifat berat karena diiringi demam tinggi mendadak disertai kejang-kejang dan pneumoni. Gambaran darah tepi ialah limfositosis dan leukopenia.

2. Stadium erupsi

Coryza dan batuk-batuk bertambah. Timbul enantema / titik merah dipalatum durum dan palatum mole. Terjadinya eritema yang berbentuk makula papula disertai dengan menaiknya suhu tubuh. Eritema timbul dibelakang telinga dibagian atas lateral tengkuk, sepanjang rambut dan bagian belakang bawah. Kadang-kadang terdapat perdarahan primer pada kulit. Rasa gatal, muka bengkak. Terdapat pembesaran kelenjar getah bening disudut mandibula dan didaerah leher belakang. Juga terdapat sedikit splenomegali, tidak jarang disertai diare dan muntah. Variasi dari morbili yang biasa ini adalah “Black Measles” yaitu morbili yang disertai perdarahan pada kulit, mulut, hidung dan traktus digestivus.

3. Stadium konvalesensi

Erupsi berkurang meninggalkan bekas yang berwarna lebih tua (hiperpigmentasi) yang bisa hilang sendiri. Selain hiperpigmentasi pada anak Indonesia sering ditemukan pula kulit yang bersisik. Hiperpigmentasi ini merupakan gejala patognomonik untuk morbili. Pada penyakit-penyakit lain dengan eritema atau eksantema ruam kulit menghilang tanpa hiperpigmentasi. Suhu menurun sampai menjadi normal kecuali bila ada komplikasi

Komplikasi

- Otitis media akut

- Pneumonia / bronkopneumoni

- Encefalitis

- Bronkiolitis

- Laringitis obstruksi dan laringotrakkhetis

Pencegahan

1. Imunusasi aktif

Hal ini dapat dicapai dengan menggunakan vaksin campak hidup yang telah dilemahkan. Vaksin hidup yang pertama kali digunakan adalah Strain Edmonston B. Pelemahan berikutnya dari Strain Edmonston B. Tersbut membawa perkembangan dan pemakaian Strain Schwartz dan Moraten secara luas. Vaksin tersebut diberikan secara subkutan dan menyebabkan imunitas yang berlangsung lama.

Pada penyelidikan serulogis ternyata bahwa imunitas tersebut mulai mengurang 8-10 tahun setelah vaksinasi. Dianjurkan agar vaksinasi campak rutin tidak dapat dilakukan sebelum bayi berusia 15 bulan karena sebelum umur 15 bulan diperkirakan anak tidak dapat membentuk antibodi secara baik karena masih ada antibodi dari ibu. Pada suatu komunitas dimana campak terdapat secara endemis, imunisasi dapat diberikan ketika bayi berusia 12 bulan.

2. Imunusasi pasif

Imunusasi pasif dengan serum oarng dewasa yang dikumpulkan, serum stadium penyembuhan yang dikumpulkan, globulin placenta (gama globulin plasma) yang dikumpulkan dapat memberikan hasil yang efektif untuk pencegahan atau melemahkan campak. Campak dapat dicegah dengan serum imunoglobulin dengan dosis 0,25 ml/kg BB secara IM dan diberikan selama 5 hari setelah pemaparan atau sesegera mungkin.

Pengobatan

Terdapat indikasi pemberian obat sedatif, antipiretik untuk mengatasi demam tinggi. Istirahat ditempat tidur dan pemasukan cairan yang adekuat. Mungkin diperlukan humidikasi ruangan bagi penderita laringitis atau batuk mengganggu dan lebih baik mempertahanakan suhu ruangan yang hangat.

Pemeriksaan Diagnostik

* Pemeriksaan Fisik
* Pemeriksaan Darah

Penetalaksanaan Teraupetik

* Pemberian vitamin A
* Istirahat baring selama suhu meningkat, pemberian antipiretik
* Pemberian antibiotik pada anak-anak yang beresiko tinggi
* Pemberian obat batuk dan sedativum

ASUHAN KEPERWATAN

I. Pengkajian

A. Identitas diri :

B. Riwayat Imunisasi

C. Kontak dengan orang yang terinfeksi

D. Pemeriksaan Fisik :

1) Mata : terdapat konjungtivitis, fotophobia

2) Kepala : sakit kepala

3) Hidung : Banyak terdapat secret, influenza, rhinitis/koriza, perdarahan hidung (pada stad eripsi ).

4) Mulut & bibir : Mukosa bibir kering, stomatitis, batuk, mulut terasa pahit.

5) Kulit : Permukaan kulit ( kering ), turgor kulit, rasa gatal, ruam makuler pada leher, muka, lengan dan kaki (pada stad. Konvalensi), evitema, panas (demam).

6) Pernafasan : Pola nafas, RR, batuk, sesak nafas, wheezing, renchi, sputum

7) Tumbuh Kembang : BB, TB, BB Lahir, Tumbuh kembang R/ imunisasi.

8) Pola Defekasi : BAK, BAB, Diare

9) Status Nutrisi : intake – output makanan, nafsu makanan

E. Keadaan Umum : Kesadaran, TTV


II. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa yang mungkin muncul pada pasien Morbili adalah

1. Resiko penyebaran infeksi berhubungan dengan organisme virulen

2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan adanya batuk

3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan adanya rash

4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak adekuat

5. Gangguan aktivitas diversional berhubungan dengan isolasi dari kelompok sebaya


III. Perencanaan

1. Perluasan infeksi tidak terjadi

2. Anak menunjukkan tanda-tanda pola nafas efektif

3. Anak dapat mempertahankan integritas kulit

4. Anak menunjukan tanda-tanda terpenuhinya kebutuhan nutrisi

5. Anak dapat melakukan aktivitas sesuai dengan usia dan tugas perkembangan selama menjalani isolasi dari teman sebaya atau anggota keluarga.

IV. Implementasi

1. Mencegah peluasan infeksi

o Tempatkan anak pada ruangan khusus

o Pertahankan isolasi yang ketat di rumah sakit

o Gunakan prosedur perlindugan infeksi jika melakukan kontak dengan anak

o Mempertahankan istirahat selama periode prodromal (kataral)

o Berikan antibiotik sesuai dengan order

2. Mempertahankan pola nafas yang efektif

o Mengkaji ulang status pernafasan (irama, edalaman, suara nafas, penggunaan otot bantu pernafasan, bernafas melalui mulut)

o Mengkaji ulang tanda-tanda vital (denyut nadi, irama, dan frekuensi)

o Memberikan posisi tempat tidur semi fowler / fowler

o Membantu klien untuk melakukan aktivitas sehari-hari sesuai dengan kemampaunnya

o Menganjurkan anak untuk banyak minum

o Memberikan oksigen sesuai dengan indikasi

o Memberikan obat-obatan yang dapat meningkatkan efektifnya jalan nafas (seperti Bronkodilator, antikolenergik, dan anti peradangan)

3. Mempertahankan integritas kulit

o Mempertahankan kuku anak tetap pendek, menjelaskan kepada anak untuk tidak menggaruk rash

o Memberikan obat antipruritus topikal, dan anestesi topikal

o Memberikan antihistamin sesuai order dan memonitor efek sampingnya

o Memandikan klien dengan menggunakan sabun yang lembut untuk mencegah infeksi

o Jika terdapat fotofobia, gunakan bola lampu yang tidak terlalu terang di kamar klien

o Memeriksa kornea mata terhadap kemungkinan ulserasi

4. Mempertahankan kebutuhan nutrisi

o Kaji ketidakmampuan anak untuk makan

o Ijinkan anak untuk memakan makanan yang dapat ditoleransi anak, rencanakan untuk memperbaiki status gizi pada saat selera makan anak meningkat.

o Berikan makanan yang disertai dengan supleman nutrisi untuk meningkatkan kualitas intake nutrisi

o Kolaborasi untuk pemberian nutrisi parenteral jika kebutuhan nutrisi melalui oral tidak mencukupi kebutuhan gizi anak

o Menilai indikator terpenuhinya kebutuhan nutrisi (berat badan, lingkar lengan, membran mukosa)

o Menganjurkan kepada orang tua untuk memberikan makanan dengan teknik porsi kecil tapi sering

o Menimbang berat badan setiap hari pada waktu yang sama, dan dengan skala yang sama

o Mempertahankan kebersihan mulut anak

o Menjelaskan pentingya intake nutrisi yang adekuat untuk penyembuhan penyakit

5. Mempertahankan kebutuhan aktivitas sesuai dengan usia dan tugas perkembangan

o Memberikan aktivitas ringan yang sesuai dengan usia anak (permainan, keterampilan tangan, nonton televisi)

o Memberikan makanan yang menarik untuk memberikan stimulasi yang bervariasi bagi anak

o Melibatkan anak dalam mengatur jadwal harian dan memilih aktivitas yang diinginkan

o Mengijinkan anak untuk mengerjakan tugas sekolah selama di rumah sakit, menganjurkan anak untuk berhubungan dengan teman melalui telepon jika memungkinkan

V. Perencanaan Pemulangan

ü Jelaskan terapi yang diberikan : dosis, efek samping

ü Melakukan imunisasi jika imunisasi belum lengkap sesuai dengan prosedur

ü Menekankan pentingnya kontrol ulang sesuai jadwal

ü Informasikan jika terdapat tanda-tanda terjadinya kekambuhan

DAFTAR PUSTAKA

Ilmu Kesehatann Anak Edisi 2, th 1991. FKUI

Ilmu Kesehatan Anak vol 2, Nelson, EGC, 2000

HERPES ZOSTER

Herpes Zoster adalah penyakit setempat yang terjadi terutama pada orang tua yang khas ditandai oleh adanya nyeri radikuler yang unilateral serta adanya erupsi vesikuler yang terbatas pada dermatom yang di inervasi oleh serabut saraf spinal maupun ganglion serabut saraf sensoris dari nervus cranialis.

Herpes Zoster rupanya menggambarkan reaktivasi dari refleksi endogen yang telah menetap dalam bentuk laten mengikuti infeksi Varicella yang telah ada sebelumnya. Hubungan Varicella dan Herpes Zoster pertama kali ditemukan oleh Von Gokay pada tahun 1888. ia menemukan penderita anak – anak yang dapat terkena Varisela setelah mengalami kontak dengan individu yang mengalami infeksi Herpes Zoster.

Implikasi neurologik dari distribusi lesi sementara Herpes Zoster diperkenalkan oleh Richard Bright tahun 1931 dan adanya peradangan ganglion sensoris dan saraf spinal pertama kali diuraikan oleh Von Bareusprung pada tahun 1862. Herpes Zoster dapat mengenai kedua jenis kelamin dan semua ras dengan frekuensi yang sama.

Definisi

Herpes Zoster disebut juga Shingles. Di kalangan awam populer atau lebih dikenal dengan sebutan “Dampa” atau “Cacar Air”. Herpes Zoster merupakan infeksi virus yang akut pada bagian dermatoma (terutama dada dan leher) dan saraf. Hal ini menyebabkan erupsi kulit yang terasa sangat nyeri berupa lepuhan yang berisi cairan. Herpes Zoster disebabkan oleh Virus Varicella Zoster (virus yang juga menyebabkan Penyakit Varicella atau Cacar / Chickenpox).

Etiologi

Herpes Zoster disebabkan oleh Virus Varicella Zoster. Virus Varicella Zoster terdiri dari kapsid berbentuk ikosahedral dengan diameter 100 nm. Kapsid tersusun atas 162 sub unit protein – virion yang lengkap dengan diameternya 150 – 200 nm dan hanya virion yang terselubung yang bersifat infeksius. Infeksiositas virus ini dengan cepat dihancurkan oleh bahan organik, deterjen, enzim proteolitik, panas dan suasana Ph yang tinggi. Masa inkubasinya 14 – 21 hari.

Patofisiologi

Pada episode infeksi primer, virus dari luar masuk ke tubuh hospes (penerima virus). Selanjutnya, terjadilah penggabungan virus dengan DNA hospes, mengadakan multiplikasi atau replikasi sehingga menimbulkan kelainan pada kulit. Virus akan menjalar melalui serabut saraf sensorik ke ganglion saraf dan berdiam secara permanen dan bersifat laten. Infeksi hasil reaktivasi virus varicella yang menetap di ganglion sensoris setelah infeksi chickenpox pada masa anak – anak. Sekitar 20 % orang yang menderita Cacar akan menderita Shingles selama hidupnya dan biasanya hanya terjadi sekali. Ketika reaktivasi virus berjalan dari ganglion ke kulit area dermatom.

Faktor Resiko

1. Usia lebih dari 50 tahun. Infeksi ini sering terjadi pada usia tersebut akibat daya tahan tubuhnya melemah. Makin tua usia penderita Herpes Zoster makin tinggi pula resiko terserang nyeri.

2. Orang yang mengalami penurunan kekebalan (immunocompromised) seperti HIV dan leukimia. Adanya lesi pada ODHA merupakan manifestasi pertama dari immunocompromised.

3. Orang dengan terapi radiasi dan kemoterapi.

4. Orang dengan transplantasi organ mayor seperti transplantasi sumsum tulang.

Faktor Pencetus

1. Trauma atau luka.

2. Kelelahan.

3. Demam.

4. Alcohol.

5. Gangguan pencernaan.

6. Obat – obatan.

7. Sinar ultraviolet.

8. Haid.

9. Stress.

Tanda dan Gejala

a. Gejala Prodomal atau Kataral

1. Keluhan biasanya diawali dengan gejala prodomal, berlangsung selama 1 – 4 hari.

2. Gejala yang mempengaruhi tubuh : demam, sakit kepala, fatige, malaise, nusea, rash, kemerahan, sensitive, sore skin (penekanan kulit), nyeri (rasa terbakar atau tertusuk), gatal dan kesemutan.

3. Nyeri bersifat segmental dan dapat berlangsung terus – menerus atau hilang timbul. Nyeri juga bisa terjadi selama erupsi kulit.

4. Gejala yang mempengaruhi mata : Berupa kemerahan, sensitive terhadap cahaya, pembengkakan kelopak mata, kekeringan mata, pandangan kabur, penurunan sensasi penglihatan dan lain – lain.

b. Gejala Erupsi

1. Timbul erupsi kulit.

2. Kadang terjadi limfadenopati regional.

3. Erupsi kulit hampir selalu unilateral dan biasanya terbatas pada daerah yang di persarafi oleh satu ganglion sensorik. Erupsi dapat terjadi di seluruh bagian tubuh. Yang tersering di daerah ganglion torakalis.

4. Lesi dimulai dengan makula eritroskuamosa, kemudian terbentuk papula – papula dan dalam waktu 12 – 24 jam lesi berkembang menjadi vesikel. Pada hari ketiga berubah menjadi pastul yang akan mengering menjadi krusta dalam 7 – 10 hari. Krusta dapat bertahan sampai 2 – 3 minggu kemudian mengelupas. Pada saat ini nyeri segmental juga menghilang.

5. Lesi baru dapat terus muncul sampai hari ke 4, kadang – kadang sampai hari ke 7.

6. Pada lansia biasanya mengalami lesi yang lebih parah dan mereka lebih sensitive terhadap nyeri yang dialami.

b. Gejala Konvalensi

1. Erupsi mulai mongering dan membentuk keropeng pada hari ke 5 setelsh kemunculannya.

2. Erupsi yang luas atau menetap lebih dari 2 minggu biasanya menunjukkan bahwa sistem kekebalan penderita tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

3. Erupsi kulit yang berat dapat meninggalkan makula hiperpigmentasi dan jaringan parut (pitted scar).

Komplikasi

1. Neuralgia Pasca Herpes Zoster (NPH) merupakan nyeri yang tajam dan spasmodic (singkat dan tidak terus – menerus) sepanjang nervus yang terlibat. Nyeri menetap di dermatom yang terkena setelah erupsi.

2. Herpes Zoster menghilang, batasan waktunya adalah nyeri yang masih timbul satu bulan setelah timbulnya erupsi kulit. Kebanyakan nyeri akan berkurang dan menghilang spontan setelah 1 – 6 bulan

3. Gangren superfisialis menunjukan Herpes Zoster yang berat, mengakibatkan hambatan penyembuhan dan pembentukan jaringan parut.

4. Komplikasi mata, antara lain : Konjungtivitis, Keratitis Epithelial, Skleritis, Uveitis, Glaucoma Sekunder, Ptosis Paralitik, Korioretinitis, Neuritis Optika, Iridosiklitis dan Paresis otot penggerak bola mata.

5. Herpes Zoster diseminata / generalisata.

6. Komplikasi sitemik, antara lain : Endokarditis, Menigosefalitis, Paralysis saraf motorik, Progressive Multi Focal Leukoenche Phatopathy dan Angitis Serebral Granulomatosa disertai Hemiplegi (2 terakhir ini merupakan komplikasi herpes zoster optalmik).

7. Syndrom Ramsay Hunt akibat gangguan saraf fasialis dan saraf optikus dengan gejala lumpuh otot wajah (Paralisis Fasialis), telinga berdenging, sakit kepala, gangguan pendengaran dan mual. Kelumpuhan otot pada 1 – 5 % kasus biasanya timbul dalam 2 minggu sejak kelainan kulit muncul. Umumnya sembuh spontan.

Pemeriksaan

Tes diagnostik untuk membedakan dari Impetigo, Kontak Dermatitis dan Herpes Simplex :

1. Tzanck Smear : mengidentifikasi virus herpes tetapi tidak dapat membedakan Herpes Zoster dan Herpes Simplex.

2. Kultur dari cairan vesikel dan tes antibody : digunakan untuk membedakan diagnosis herpes virus.

3. Immunofluororescent : mengidentifikasi Varicella di sel kulit.

4. Pemeriksaan histopatologik.

5. Pemerikasaan mikroskop elektron.

6. Kultur virus.

7. Identifikasi anti gen atau asam nukleat VVZ.

8. Deteksi antibody terhadap infeksi virus.

Penatalaksanaan

1. Pengobatan

a. Pengobatan topical

Ø Pada stadium vesikular diberi bedak salicyl 2% atau bedak kocok kaladin untuk mencegah vesikel pecah.

Ø Bila vesikel pecah dan basah, diberikan kompres terbuka dengan larutan antiseptik atau kompres dingin dengan larutan burrow 3 x sehari selama 20 menit.

Ø Apabila lesi berkrusta dan agak basah dapat diberikan salep antibiotik (basitrasin / polysporin ) untuk mencegah infeksi sekunder selama 3 x sehari.

b. Pengobatan sistemik

Drug of choice-nya adalah acyclovir 5 x 800 mg perhari yang dapat mengintervensi sintesis virus dan replikasinya. Selin itu juga dapat menggunakan valasiklovir 3 x 1000 mg perhari atau famasiklovir 3 x 500 mg perhari. Meski tidak menyembuhkan infeksi herpes namun dapat menurunkan keparahan penyakit dan nyeri. Dapat diberikan secara oral, topical atau parenteral. Pemberian lebih efektif pada hari pertama dan kedua pasca kemunculan vesikel. Namun hanya memiliki efek yang kecil terhadap postherpetic neuralgia.

Antiviral lain yang dianjurkan adalah vidarabine (Ara – A, Vira – A) dapat diberikan lewat infus intravena atau salep mata.

Pemberian analgetik, dalam bentuk salep misalnya capsaicin dan lidokain.

Kortikosteroid dapat digunakan untuk menurunkan respon inflamasi dan efektif namun penggunaannya masih kontroversi karena dapat menurunkan penyembuhan dan menekan respon immune. Biasanya mempergunakan prednisone 3 x 20 mg perhari. Setelah sembuh, dosis dapat di turunkan bertahap.

Analgesik non narkotik dan narkotik diresepkan untuk manajemen nyeri dan antihistamin diberikan untuk menyembuhkan priritus.

Ø Penderita dengan keluhan mata

Keterlibatan seluruh mata atau ujung hidung yang menunjukan hubungan dengan cabang nasosiliaris nervus optalmikus, harus ditangani dengan konsultasi opthamologis. Dapat diobati dengan salaep mata steroid topical dan mydriatik, anti virus juga dapat diberikan.

Ø Neuralgia Pasca Herpes zoster

Bila nyeri masih terasa meskipun sudah diberikan acyclovir pada fase akut, maka dapat diberikan anti depresan trisiklik ( misalnya : amitriptilin 10 – 75 mg/hari atau nutriplitin dan atau pregabalin saat post herpes).

Tindak lanjut ketat bagi penanganan nyeri dan dukungan emosional merupakan bagian terpenting perawatan

Intervensi bedah atau rujukan ke klinik nyeri diperlukan pada neuralgi berat yang tidak teratasi.

Asuhan keperawatan pada pasien Herpes Zoster

1. Pengkajian

1. Riwayat

§ Riwayat menderita penyakit cacar

§ Riwayat immunocompromised (HIV/AIDS, leukimia)

§ Riwayat terapi radiasi

2. Diet

3. Keluhan utama

§ Nyeri

§ Sensasi gatal

§ Lesi kulit

§ Kemerahan

§ Fatige

4. Riwayat psikososial

§ Kondisi psikologis pasien

§ Kecemasan

§ Respon pasien terhadap penyakit

5. Pemeriksaan fisik

§ Tanda vital

§ Tes diagnostik

2. Diagnosa

Berdasarkan data pengkajian, diagnosa keperawatan utama yang muncul adalah :

1. Nyeri berhubungan dengan adanya lesi kulit.

2. Gangguan pola tidur berhubungan dengan pruritus dan nyeri dari lesi herpes.

3. Resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan fungsi barier kulit.

3. Intervensi keperawatan

1. Pendidikan kesehatan untuk klien dan keluarga.

2. Anjurkan pasien untuk melaporkan nyeri, demam, drainase yang berbau busuk dan muncul pus.

3. Jelaskan tentang kemungkinan neuralgia pasca herpes dan tekankan bahwa anda dapat menangani nyeri.

4. Beritahu pasien bahwa mereka dapat menulari orang lain, oleh karena itu perlu diperhatikan tindakan higienis rutin seperti pemakaian alat pribadi.

5. Tidak melakukan kontak sosial hingga lesi mongering.

6. Gunakan obat sesuai aturan, pakai pakian yang menyerap keringat, pertahankan suhu udara tetap dingin / nyaman.

7. Dapat digunakan sarung tangan katun pada malam hari saat muncul keinginan untuk menggaruk.

8. Lakukan tehnik relaksasi untuk menurunkan nyeri dan batasi aktivitas yang berlebihan.

4. Implementasi

Melakukan tindakan sesuai dengan intervensi.

5. Evaluasi

1. Keluhan nyeri berkurang.

2. Pasien memperoleh periode istirahat / tidur yang adekuat.

3. Kondisi integritas kulit dapat dipertahankan.

o Tidak ada lesi yang pecah.

o Kulit terlindungi dari bahan iritan.

4. Tidak ada tanda infeksi.

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN THPOID
A. KONSEP DASAR

1. Pengertian

Typhoid adalah penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan infeksi salmonella Thypi. Organisme ini masuk melalui makanan dan minuman yang sudah terkontaminasi oleh faeses dan urine dari orang yang terinfeksi kuman salmonella. ( Bruner and Sudart, 1994 ).

Typhoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh kuman salmonella Thypi ( Arief Maeyer, 1999 ).

Typhoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh kuman salmonella thypi dan salmonella para thypi A,B,C. sinonim dari penyakit ini adalah Typhoid dan paratyphoid abdominalis, ( Syaifullah Noer, 1996 ).

Typhoid adalah penyakit infeksi pada usus halus, typhoid disebut juga paratyphoid fever, enteric fever, typhus dan para typhus abdominalis (.Seoparman, 1996).

Typhoid adalah suatu penyakit pada usus yang menimbulkan gejala-gejala sistemik yang disebabkan oleh salmonella typhosa, salmonella type A.B.C. penularan terjadi secara pecal, oral melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi (Mansoer Orief.M. 1999).

Dari beberapa pengertian diatasis dapat disimpulkan sebagai berikut, Typhoid adalah suatu penyakit infeksi usus halus yang disebabkan oleh salmonella type A. B dan C yang dapat menular melalui oral, fecal, makanan dan minuman yang terkontaminasi.
2. Etiologi

Etiologi typhoid adalah salmonella typhi. Salmonella para typhi A. B dan C. Ada dua sumber penularan salmonella typhi yaitu pasien dengan demam typhoid dan pasien dengan carier. Carier adalah orang yang sembuh dari demam typhoid dan masih terus mengekresi salmonella typhi dalam tinja dan air kemih selama lebih dari 1 tahun.

3. Patofisiologi

Penularan salmonella thypi dapat ditularkan melalui berbagai cara, yang dikenal dengan 5F yaitu Food(makanan), Fingers(jari tangan/kuku), Fomitus (muntah), Fly(lalat), dan melalui Feses.

Feses dan muntah pada penderita typhoid dapat menularkan kuman salmonella thypi kepada orang lain. Kuman tersebut dapat ditularkan melalui perantara lalat, dimana lalat akan hinggap dimakanan yang akan dikonsumsi oleh orang yang sehat. Apabila orang tersebut kurang memperhatikan kebersihan dirinya seperti mencuci tangan dan makanan yang tercemar kuman salmonella thypi masuk ke tubuh orang yang sehat melalui mulut. Kemudian kuman masuk ke dalam lambung, sebagian kuman akan dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus bagian distal dan mencapai jaringan limpoid. Di dalam jaringan limpoid ini kuman berkembang biak, lalu masuk ke aliran darah dan mencapai sel-sel retikuloendotelial. Sel-sel retikuloendotelial ini kemudian melepaskan kuman ke dalam sirkulasi darah dan menimbulkan bakterimia, kuman selanjutnya masuk limpa, usus halus dan kandung empedu.

Semula disangka demam dan gejala toksemia pada typhoid disebabkan oleh endotoksemia. Tetapi berdasarkan penelitian eksperimental disimpulkan bahwa endotoksemia bukan merupakan penyebab utama demam pada typhoid. Endotoksemia berperan pada patogenesis typhoid, karena membantu proses inflamasi lokal pada usus halus. Demam disebabkan karena salmonella thypi dan endotoksinnya merangsang sintetis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang.

4. Manifestasi Klinik

Masa tunas typhoid 10 – 14 hari

a. Minggu I

pada umumnya demam berangsur naik, terutama sore hari dan malam hari. Dengan keluhan dan gejala demam, nyeri otot, nyeri kepala, anorexia dan mual, batuk, epitaksis, obstipasi / diare, perasaan tidak enak di perut.

b. Minggu II

pada minggu II gejala sudah jelas dapat berupa demam, bradikardi, lidah yang khas (putih, kotor, pinggirnya hiperemi), hepatomegali, meteorismus, penurunan kesadaran.
5. Komplikasi

a. Komplikasi intestinal

1) Perdarahan usus

2) Perporasi usus

3) Ilius paralitik

b. Komplikasi extra intestinal

1) Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi (renjatan sepsis), miokarditis, trombosis, tromboplebitis.

2) Komplikasi darah : anemia hemolitik, trobositopenia, dan syndroma uremia hemolitik.

3) Komplikasi paru : pneumonia, empiema, dan pleuritis.

4) Komplikasi pada hepar dan kandung empedu : hepatitis, kolesistitis.

5) Komplikasi ginjal : glomerulus nefritis, pyelonepritis dan perinepritis.

6) Komplikasi pada tulang : osteomyolitis, osteoporosis, spondilitis dan arthritis.

7) Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningiusmus, meningitis, polineuritis perifer, sindroma Guillain bare dan sidroma katatonia.
6. Penatalaksanaan
a. Perawatan.

1) Klien diistirahatkan 7 hari sampai demam tulang atau 14 hari untuk mencegah komplikasi perdarahan usus.

2) Mobilisasi bertahap bila tidak ada panas, sesuai dengan pulihnya tranfusi bila ada komplikasi perdarahan.
b. Diet.

1) Diet yang sesuai ,cukup kalori dan tinggi protein.

2) Pada penderita yang akut dapat diberi bubur saring.

3) Setelah bebas demam diberi bubur kasar selama 2 hari lalu nasi tim.

4) Dilanjutkan dengan nasi biasa setelah penderita bebas dari demam selama 7 hari.
c. Obat-obatan.

1) Klorampenikol

2) Tiampenikol

3) Kotrimoxazol

4) Amoxilin dan ampicillin
7. Pencegahan

Cara pencegahan yang dilakukan pada demam typhoid adalah cuci tangan setelah dari toilet dan khususnya sebelum makan atau mempersiapkan makanan, hindari minum susu mentah (yang belum dipsteurisasi), hindari minum air mentah, rebus air sampai mendidih dan hindari makanan pedas
8. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang pada klien dengan typhoid adalah pemeriksaan laboratorium, yang terdiri dari :

a. Pemeriksaan leukosit

Di dalam beberapa literatur dinyatakan bahwa demam typhoid terdapat leukopenia dan limposistosis relatif tetapi kenyataannya leukopenia tidaklah sering dijumpai. Pada kebanyakan kasus demam typhoid, jumlah leukosit pada sediaan darah tepi berada pada batas-batas normal bahkan kadang-kadang terdapat leukosit walaupun tidak ada komplikasi atau infeksi sekunder. Oleh karena itu pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk diagnosa demam typhoid.

b. Pemeriksaan SGOT DAN SGPT

SGOT dan SGPT pada demam typhoid seringkali meningkat tetapi dapat kembali normal setelah sembuhnya typhoid.

c. Biakan darah

Bila biakan darah positif hal itu menandakan demam typhoid, tetapi bila biakan darah negatif tidak menutup kemungkinan akan terjadi demam typhoid. Hal ini dikarenakan hasil biakan darah tergantung dari beberapa faktor :

1) Teknik pemeriksaan Laboratorium

Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan laboratorium yang lain, hal ini disebabkan oleh perbedaan teknik dan media biakan yang digunakan. Waktu pengambilan darah yang baik adalah pada saat demam tinggi yaitu pada saat bakteremia berlangsung.

2) Saat pemeriksaan selama perjalanan Penyakit.

Biakan darah terhadap salmonella thypi terutama positif pada minggu pertama dan berkurang pada minggu-minggu berikutnya. Pada waktu kambuh biakan darah dapat positif kembali.

3) Vaksinasi di masa lampau

Vaksinasi terhadap demam typhoid di masa lampau dapat menimbulkan antibodi dalam darah klien, antibodi ini dapat menekan bakteremia sehingga biakan darah negatif.

4) Pengobatan dengan obat anti mikroba.

Bila klien sebelum pembiakan darah sudah mendapatkan obat anti mikroba pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil biakan mungkin negatif.

d. Uji Widal

Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap salmonella thypi terdapat dalam serum klien dengan typhoid juga terdapat pada orang yang pernah divaksinasikan. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji widal ini adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum klien yang disangka menderita typhoid. Akibat infeksi oleh salmonella thypi, klien membuat antibodi atau aglutinin yaitu :

1) Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh kuman).

2) Aglutinin H, yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal dari flagel kuman).

3) Aglutinin Vi, yang dibuat karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai kuman)

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk diagnosa, makin tinggi titernya makin besar klien menderita typhoid.

Faktor – faktor yang mempengaruhi uji widal :

a. Faktor yang berhubungan dengan klien :

1. Keadaan umum : gizi buruk dapat menghambat pembentukan antibodi.

2. Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit: aglutinin baru dijumpai dalam darah setelah klien sakit 1 minggu dan mencapai puncaknya pada minggu ke-5 atau ke-6.

3. Penyakit – penyakit tertentu : ada beberapa penyakit yang dapat menyertai demam typhoid yang tidak dapat menimbulkan antibodi seperti agamaglobulinemia, leukemia dan karsinoma lanjut.

4. Pengobatan dini dengan antibiotika : pengobatan dini dengan obat anti mikroba dapat menghambat pembentukan antibodi.

5. Obat-obatan imunosupresif atau kortikosteroid : obat-obat tersebut dapat menghambat terjadinya pembentukan antibodi karena supresi sistem retikuloendotelial.

6. Vaksinasi dengan kotipa atau tipa : seseorang yang divaksinasi dengan kotipa atau tipa, titer aglutinin O dan H dapat meningkat. Aglutinin O biasanya menghilang setelah 6 bulan sampai 1 tahun, sedangkan titer aglutinin H menurun perlahan-lahan selama 1 atau 2 tahun. Oleh sebab itu titer aglutinin H pada orang yang pernah divaksinasi kurang mempunyai nilai diagnostik.

7. Infeksi klien dengan klinis/subklinis oleh salmonella sebelumnya : keadaan ini dapat mendukung hasil uji widal yang positif, walaupun dengan hasil titer yang rendah.

8. Reaksi anamnesa : keadaan dimana terjadi peningkatan titer aglutinin terhadap salmonella thypi karena penyakit infeksi dengan demam yang bukan typhoid pada seseorang yang pernah tertular salmonella di masa lalu.

b. Faktor-faktor Teknis

1. Aglutinasi silang : beberapa spesies salmonella dapat mengandung antigen O dan H yang sama, sehingga reaksi aglutinasi pada satu spesies dapat menimbulkan reaksi aglutinasi pada spesies yang lain.

2. Konsentrasi suspensi antigen : konsentrasi ini akan mempengaruhi hasil uji widal.

3. Strain salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen : ada penelitian yang berpendapat bahwa daya aglutinasi suspensi antigen dari strain salmonella setempat lebih baik dari suspensi dari strain lain.
9. Tumbuh kembang pada anak usia 6 – 12 tahun

Pertumbuhan merupakan proses bertambahnya ukuran berbagai organ fisik berkaitan dengan masalah perubahan dalam jumlah, besar, ukuran atau dimensi tingkat sel. Pertambahan berat badan 2 – 4 Kg / tahun dan pada anak wanita sudah mulai mengembangkan cirri sex sekundernya.

Perkembangan menitik beratkan pada aspek diferensiasi bentuk dan fungsi termasuk perubahan sosial dan emosi.
a. Motorik kasar

1) Loncat tali

2) Badminton

3) Memukul

4) motorik kasar di bawah kendali kognitif dan berdasarkan secara bertahap meningkatkan irama dan keleluasaan.
b. Motorik halus

1) Menunjukan keseimbangan dan koordinasi mata dan tangan

2) Dapat meningkatkan kemampuan menjahit, membuat model dan bermain alat musik.
c. Kognitif

1) Dapat berfokus pada lebih dan satu aspek dan situasi

2) Dapat mempertimbangkan sejumlah alternatif dalam pemecahan masalah

3) Dapat membelikan cara kerja dan melacak urutan kejadian kembali sejak awal

4) Dapat memahami konsep dahulu, sekarang dan yang akan datang
d. Bahasa

1) Mengerti kebanyakan kata-kata abstrak

2) Memakai semua bagian pembicaraan termasuk kata sifat, kata keterangan, kata penghubung dan kata depan

3) Menggunakan bahasa sebagai alat pertukaran verbal

4) Dapat memakai kalimat majemuk dan gabungan
10. Dampak hospitalisasi

Hospitalisasi atau sakit dan dirawat di RS bagi anak dan keluarga akan menimbulkan stress dan tidak merasa aman. Jumlah dan efek stress tergantung pada persepsi anak dan keluarga terhadap kerusakan penyakit dan pengobatan.

Penyebab anak stress meliputi ;

a. Psikososial

Berpisah dengan orang tua, anggota keluarga lain, teman dan perubahan peran

b. Fisiologis

Kurang tidur, perasaan nyeri, imobilisasi dan tidak mengontrol diri

c. Lingkungan asing

Kebiasaan sehari-hari berubah

d. Pemberian obat kimia

Reaksi anak saat dirawat di Rumah sakit usia sekolah (6-12 tahun)

a. Merasa khawatir akan perpisahan dengan sekolah dan teman sebayanya

b. Dapat mengekspresikan perasaan dan mampu bertoleransi terhadap rasa nyeri

c. Selalu ingin tahu alasan tindakan

d. Berusaha independen dan produktif

Reaksi orang tua

a. Kecemasan dan ketakutan akibat dari seriusnya penyakit, prosedur, pengobatan dan dampaknya terhadap masa depan anak

b. Frustasi karena kurang informasi terhadap prosedur dan pengobatan serta tidak familiernya peraturan Rumah sakit
B. ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian

Faktor Presipitasi dan Predisposisi

Faktor presipitasi dari demam typhoid adalah disebabkan oleh makanan yang tercemar oleh salmonella typhoid dan salmonella paratyphoid A, B dan C yang ditularkan melalui makanan, jari tangan, lalat dan feses, serta muntah diperberat bila klien makan tidak teratur. Faktor predisposisinya adalah minum air mentah, makan makanan yang tidak bersih dan pedas, tidak mencuci tangan sebelum dan sesudah makan, dari wc dan menyiapkan makanan.
2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa yang mungkin muncul pada klien typhoid adalah :

a. Resti ketidakseimbangan volume cairan dan elektrolit b.d hipertermi dan muntah.

b. Resti gangguan pemenuhan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake yang tidak adekuat.

c. Hipertermi b.d proses infeksi salmonella thypi.

d. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan sehari-hari berhubungan dengan kelemahan fisik.

e. Kurangnya pengetahuan tentang penyakitnya berhubungan dengan kurang informasi atau informasi yang tidak adekuat.

3. Perencanaan

Berdasarkan diagnosa keperawatan secara teoritis, maka rumusan perencanaan keperawatan pada klien dengan typhoid, adalah sebagai berikut :
Diagnosa. 1

Resti gangguan ketidak seimbangan volume cairan dan elektrolit, kurang dari kebutuhan berhubungan dengan hipertermia dan muntah.

Tujuan

Ketidak seimbangan volume cairan tidak terjadi

Kriteria hasil

Membran mukosa bibir lembab, tanda-tanda vital (TD, S, N dan RR) dalam batas normal, tanda-tanda dehidrasi tidak ada

Intervensi

Kaji tanda-tanda dehidrasi seperti mukosa bibir kering, turgor kulit tidak elastis dan peningkatan suhu tubuh, pantau intake dan output cairan dalam 24 jam, ukur BB tiap hari pada waktu dan jam yang sama, catat laporan atau hal-hal seperti mual, muntah nyeri dan distorsi lambung. Anjurkan klien minum banyak kira-kira 2000-2500 cc per hari, kolaborasi dalam pemeriksaan laboratorium (Hb, Ht, K, Na, Cl) dan kolaborasi dengan dokter dalam pemberian cairan tambahan melalui parenteral sesuai indikasi.
Diagnosa. 2

Resiko tinggi pemenuhan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak adekuat

Tujuan

Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh tidak terjadi

Kriteria hasil

Nafsu makan bertambah, menunjukkan berat badan stabil/ideal, nilai bising usus/peristaltik usus normal (6-12 kali per menit) nilai laboratorium normal, konjungtiva dan membran mukosa bibir tidak pucat.

Intervensi

Kaji pola nutrisi klien, kaji makan yang di sukai dan tidak disukai klien, anjurkan tirah baring/pembatasan aktivitas selama fase akut, timbang berat badan tiap hari. Anjurkan klien makan sedikit tapi sering, catat laporan atau hal-hal seperti mual, muntah, nyeri dan distensi lambung, kolaborasi dengan ahli gizi untuk pemberian diet, kolaborasi dalam pemeriksaan laboratorium seperti Hb, Ht dan Albumin dan kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat antiemetik seperti (ranitidine).
Diagnosa 3

Hipertermia berhubungan dengan proses infeksi salmonella thypi

Tujuan

Hipertermi teratasi

Kriteria hasil

Suhu, nadi dan pernafasan dalam batas normal bebas dari kedinginan dan tidak terjadi komplikasi yang berhubungan dengan masalah typhoid.

Intervensi

Observasi suhu tubuh klien, anjurkan keluarga untuk membatasi aktivitas klien, beri kompres dengan air dingin (air biasa) pada daerah axila, lipat paha, temporal bila terjadi panas, anjurkan keluarga untuk memakaikan pakaian yang dapat menyerap keringat seperti katun, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat anti piretik.
Diagnosa 4

Ketidak mampuan memenuhi kebutuhan sehari-hari berhubungan dengan kelemahan fisik

Tujuan

Kebutuhan sehari-hari terpenuhi

Kriteria hasil

Mampu melakukan aktivitas, bergerak dan menunjukkan peningkatan kekuatan otot.

Intervensi

Berikan lingkungan tenang dengan membatasi pengunjung, bantu kebutuhan sehari-hari klien seperti mandi, BAB dan BAK, bantu klien mobilisasi secara bertahap, dekatkan barang-barang yang selalu di butuhkan ke meja klien, dan kolaborasi dengan dokter dalam pemberian vitamin sesuai indikasi.
Diagnosa 5

Resti infeksi sekunder berhubungan dengan tindakan invasive

Tujuan

Infeksi tidak terjadi

Kriteria hasil

Bebas dari eritema, bengkak, tanda-tanda infeksi dan bebas dari sekresi purulen/drainase serta febris.

Intervensi

Observasi tanda-tanda vital (S, N, RR dan RR). Observasi kelancaran tetesan infus, monitor tanda-tanda infeksi dan antiseptik sesuai dengan kondisi balutan infus, dan kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat anti biotik sesuai indikasi.
Diagnosa 6

Kurang pengetahuan tentang penyakit berhubungan dengan kurang informasi atau informasi yang tidak adekuat

Tujuan

Pengetahuan keluarga meningkat

Kriteria hasil

Menunjukkan pemahaman tentang penyakitnya, melalui perubahan gaya hidup dan ikut serta dalam pengobatan.

Intervensinya

Kaji sejauh mana tingkat pengetahuan keluarga klien tentang penyakit anaknya, Beri pendidikan kesehatan tentang penyakit dan perawatan klien, beri kesempatan keluaga untuk bertanya bila ada yang belum dimengerti, beri reinforcement positif jika klien menjawab dengan tepat, pilih berbagai strategi belajar seperti teknik ceramah, tanya jawab dan demonstrasi dan tanyakan apa yang tidak di ketahui klien, libatkan keluarga dalam setiap tindakan yang dilakukan pada klien

4. Evaluasi

Berdasarkan implementasi yang di lakukan, maka evaluasi yang di harapkan untuk klien dengan gangguan sistem pencernaan typhoid adalah : tanda-tanda vital stabil, kebutuhan cairan terpenuhi, kebutuhan nutrisi terpenuhi, tidak terjadi hipertermia, klien dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari secara mandiri, infeksi tidak terjadi dan keluaga klien mengerti tentang penyakitnya.

1 komentar: